Para ilmuwan telah menunjuk dengan tepat sumber dari permintaan nikotin di otak, membuka jalan baru perawatan dengan obat untuk membantu para perokok membuang kebiasaannya, menurut studi yang disiarkan Minggu.
Tembakau membunuh lebih dari lima juta orang tiap tahun serta bertanggungjawab terhadap hampir 1 dalam 10 kematian orang dewasa, 90 persen dari mereka disebabkan oleh kanker paru-paru.
Dalam eksperimen pada tikus dan tikus besar, para periset memetakan fungsi gen yang dinamai CHRNA5 yang sebelumnya dituding terkait ketagihan nikotin.
Gen tersebut mengendalikan alat penerima -- suatu titik masuk di permukaan sel otak -- yang merespon molekul nikotin.
Pada versi normal gen ini, apapun lebih dari satu dosis kecil nikotin memicu pesan ke otak yang mengatakan, akibatnya, "hentikan konsumsi," para ilmuwan mendapatkan.
Dosis lebih besar menimbulkan perasaan menolak, sama dengan "makanan atau minuman yang rasanya tidak enak," kata periset utama Paul Kenny di Scripps Reseach Institute di Florida dalam sebuah pertukaran email.
Namun dampaknya cukup berbeda pada tikus dalam mana sub unit kecil alat penerima, dikenal sebagai alpha5, di-KO.
Pesan negatif tidak pernah dikirimkan -- dan sebagai akibatnya, mamalia pengerat itu tidak akan mendapat cukup obat kuat itu.
Skenario yang sama terjadi secara natural pada sejumlah orang, para periset itu percaya.
Studi penyaringan Genom-luas telah mengidentifikasi perubahan genetik yang memperlemah fungsi unit alpha5.
Antara 30-35 persen penduduk di Amerika Serikat dianggap memiliki bentuk gen CHRNA5 yang mendorong keinginan kuat nikotin tak terkekang.
"Data kami kemungkinan menjelaskan fakta bahwa individu dengan variasi genetik ini telah meningkatkan kerentanan untuk mengembangkan ketagihan tembakau," kata Kenny.
"Mereka kemungkinan jauh kurang sensitif terhadap properti menentang obat tersebut, dan dengan demikian lebih mungkin mengembangkan ketagihan nikotin."
Mengenai kekuatan penemuan baru, yang dipublikasikan online di jurnal Nature, Kenny telah menerima pendanaan dari National Institute of Drug Abuse untuk mendesain kategori obat baru.
"Studi ini memiliki implikasi penting bagi pendekatan-pendekatan baru terhadap penghentian tembakau," kata Jon Lindstrom, ilmuwan syaraf di Universitas Pennsylvania yang telah menginvestigasi reseptor nikotin lain di otak dan akan berpartisipasi dalam riset lanjutan.
Obat anti-merokok yang benar-benar efektif mungkin memerlukan penargetan lebih dari satu reseptor, katanya.
"Nikotin mempengaruhi sirkuit otak yang kompleks yang terlibat secara berbalas" -- terutama melalui pelepasan dopamine -- "dan memori," jelas Lindstrom.
"Nikotin mempunyai dampak menguntungkan terhadap kekhawatiran dan perhatian, diantara yang lainnya, dengan demikian membuat berhenti sangat sulit. Gejala mundur dari berhenti merokok membuat ini semakin buruk."
Perawatan nikotin, seperti "tempelan" ("patches"), memperbesar sirkuit balas ini namun mereka sendiri dapat menjadi adiktif.
Obat lain yang secara luas digunakan mengurangi permintaan dan kesenangan yang diasosiasikan dengan rokok secara parsial memblok reseptor lain ini.
"Memulihkan kembali atau meningkatkan penolakan ke dosis nikotin tinggi mungkin menyempurnakan pendekatan-pendekatan ini dan meningkatkan keefektifannya, atau menggantikannya," kata Lindstrom. (ANT/K004)